Jakarta, TriCitra Media – Para tokoh agama yang tergabung dalam Forum Indonesia Damai kembali berjumpa untuk ketujuh kalinya, dalam acara halal bihalal yang diselenggarakan di aula Keuskupan Katedral Jakarta Pusat, pada Hari Sabtu tanggal 4 Mei 2024. Pendeta Gomar Gultom Ketua Umum PGI mengatakan selayaknya kita bersyukur bahwa kita melewati Pemilu dengan lancar dan damai. Pastilah hasil pemilu ini tidak bisa memuaskan semua pihak, termasuk kita yang berkumpul hari ini. Ada begitu banyak kekecewaan, ada begitu banyak kemarahan, oleh tingkah ulah para penguasa maupun para kontestan pada pemilu lalu. Tapi bagaimana pun, kita harus terima hasilnya. Rakyat sudah menentukan pilihan, terlebih MK sudah mengambil keputusan. Maka saatnya kita kini mendukung pemerintahan ke depan. Walau ini bisa dianggap “dosa mereka” tapi akibat atau hasilnya haruslah kita pikul bersama ke depan. Mungkin yang perlu kita pikirkan ke depan adalah bagaimana mendorong adanya penyeimbang di parlemen.
Diprediksi tinggal PDIP dan PKS yang kemungkinan jadi penyeimbang di parlemen. Itu pun kekuatannya hanya sekitar 28%. Walau kecil, masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Tinggal soal bagaimana mereka mengelola teknik negosiasi mereka berdasar kesetiaan pada konstitusi dan regulasi yang berlaku dan rasa tanggung-jawab atas kemaslahatan rakyat banyak. Oleh karenanya rasanya perlu dipikirkan insentif yang diberikan kepada mereka, agar tetap setia sebagai penyeimbang, paling tidak berupa insentif elektoral, baik dalam Pilkada Nopember nanti maupun Pemilu 2029 yang akan datang. Di sini peran kita untuk mendorong umat memberi insentif itu. Selain Pendeta Gomar Gultom, tampak hadir Sohibul Hajat, Pemimpin Spiritual Nusantara Sri Eko Sriyanto Galgendu, Romo Antonius Suyadi, dari Komisi HAAK KAJ, Budi S. Tanuwibowo, Ketua Matakin, Engkus Ruswana Ketua MLKI, Wisnu Bawa Tenaya PH. PHDI, Drs.Piandi Ketua Permabudhi, Azisoko FPID, dan Kardinal Ignatius Suharyo.
Lebih Lanjut Gomar mengatakan bahwa dirinya baru membaca sebuah tulisan di Kompas di hari itu, “Yang tiba pada kesimpulan: partai yang bergabung dengan koalisi pemerintah paska pemilu, pada anjlok pada pemilu berikut,” begitu ujarnya. “Ini hasil penelitian atas Jerman dan Denmark,” lanjutnya menjelaskan. “Tentu ada perbedaan suasana di kedua negara tersebut dengan di Indonesia,” ujarnya lagi. “Karena di kita, partai-partai sulit dibedakan satu sama lain kalau dari basis ideologisnya,” lanjut Gomar menjelaskan. Apapun itu, masih kata Gomar, kita tidak bisa sepenuhnya meletakkan posisi penyeimbang ini hanya di parlemen. Seraya menyitir Chales de Gaulle tentang peran tentara dalam perang. “Barangkali tak terlalu salah kalau saya katakan, pembangunan politik, terutama proses demokratisasi, di negara ini terlalu berharga jika hanya diserahkan kepada para politisi,” paparnya mengingatkan.
Ia berpendapat bahwa perlu juga peran para tokoh agama untuk tetap menjadi penyampai nurani rakyat. “Meminjam istilah Rendra, para tokoh agama bisa menjadi penyeimbang dengan berumah di atas angin,” begitu kata Gomar. Ia mengutarakan rasa bangganya lantaran sejak pertemuan pertama hingga pertemuan yang ketujuh ini, semua tokoh agama masih bersama. “Semua yang terlibat dalam forum ini tak seorang pun yang berumah di kraton,” begitu tambahnya. Gomar juga menjelaskan bahwa dari yang dipahaminya, tak seorang pun di antara tokoh agama yang berkumpul itu yang memiliki kepentingan politik selama pemilu. “lalu tak ada di antara kita yang “dirapihkan” di dalam kraton,” katanya kemudian menjelaskan. “Tetaplah kritis dalam menyambut pemerintahaan baru nanti, sebagai wujud kecintaan kita atas bangsa Indonesia,” ujarnya berpesan.
Leave a Reply